Baru saja aku menemukan spot menyenangkan untuk menyeruput Green Tea Blended Cream with Whipped Cream di kota ini. Selain menyenangkan, tentu saja tempat ini aku manfaatkan untuk menyendiri sambil mengisi kembali energi selama seminggu ke belakang.
Begitu banyak hal terjadi dalam kurun waktu 7 hari saja. Entah karena memang banyak hal yang terjadi atau hanya dalam pikiranku saja.
Minggu lalu dimulai setelah kegiatan malam keakraban unit yang memuat begitu banyak interaksi sosial. Aku suka berinteraksi dengan banyak orang, namun permasalahannya mudah bagiku merasa lelah apabila terlalu lama berada di situasi semacam itu.
Selama 5 hari berkuliah, beberapa kali kelelahan itu juga mendapatiku. Akan tetapi bentuknya bisa lebih parah karena sering ditunggangi perasaan-perasaan lain seputar self-judgement. Sampai di saat berinteraksi dengan dia, segala pikiran negatif terkait diri sendiri meluap menenggelamkan akal sehatku.
Pikiran-pikiran seperti "siapa aku?, sehingga berani-beraninya mempunyai rasa kepadanya, dia bahkan tidak mengenalku", "dia dan aku sangat berbeda, perasaan itu hampir tidak mungkin nyata", "yang satu kepercayaan saja belum tentu berhasil, apalagi berbeda", "aku tidak mungkin masuk ke dalam lingkarannya", dan "dia tidak akan mungkin ingin terlibat di kehidupanmu sejauh itu". Sampai suatu ketika aku tersadarkan, bak baru saja disinari hidayah, bahwa self-critics semacam itu begitu mengganggu pikiranku.
Kemudian, self-critics lah yang selanjutnya berusaha aku kendalikan. Tidak semua self-critics buruk, ada beberapa yang muncul karena alam bawah sadar kita ingin agar kita menjadi seseorang yang lebih baik. Namun, apabila suara-suara tersebut terasa sangat intens dan mulai mengganggu, ada baiknya kita waspada.
Sesuai dengan post sebelumnya, aku akan coba mem-break down hubungan romantis ku di sini. Hubungan yang aku maksud sebenarnya berwujud satu arah. Aku anggap dia tidak mengetahui hal ini, kecuali teman dekatnya yang memang pernah aku beritahu. Mungkin sebenarnya hubungan ini lebih tepat disebut sebagai secret admiring.
Perasaan ini pertama kali kusadari di akhir semester 5 lalu. Dalam hidupku, memang sudah beberapa kali aku mempunyai perasaan kepada orang yang sama sekali belum ku kenal, hanya sebatas aku memperhatikan gerak-geriknya. Aku menganggap ini adalah hasil dari pikiranku meromantisisasi seseorang.
Ketika teman baiknya bertanya tentang alasanku jatuh padanya, aku hanya bisa menjawab "For me, she's kinda cute, I want to know more about her, and something unique about her attracts me". Memang sudah beberapa kali aku tertarik pada seseorang hanya karena alasan sederhana semacam itu. Tapi bukan berarti aku mudah tertarik pada seseorang, pada akhirnya aku percaya perasaan itu diizinkan oleh Tuhan.
Setelah cukup berkonsultasi, aku mengetahui bahwa dia merupakan orang yang cukup reserved terhadap orang asing. Mengenalnya dan berusaha agar dia mengenalku adalah langkah awal yang aku lakukan. Selanjutnya aku berencana untuk tidak terlalu cepat mendekatinya, dan berusaha untuk bersikap sealami mungkin. Hasilnya adalah aku telah beberapa kali berbincang dengannya -- tentu saja dalam situasi alami -- dan aku cukup puas dengan hal tersebut.
Sampai sekarang, aku belum bisa memutuskan untuk mengakhiri saja atau lanjut mendekatinya. Pikiranku terbentur pada kenyataan bahwa kami berbeda. Padahal kita sama-sama manusia.
Orang-orang tidak nyaman dengan perbedaan. Aku tahu betul.
Begitu banyak hal terjadi dalam kurun waktu 7 hari saja. Entah karena memang banyak hal yang terjadi atau hanya dalam pikiranku saja.
Minggu lalu dimulai setelah kegiatan malam keakraban unit yang memuat begitu banyak interaksi sosial. Aku suka berinteraksi dengan banyak orang, namun permasalahannya mudah bagiku merasa lelah apabila terlalu lama berada di situasi semacam itu.
Selama 5 hari berkuliah, beberapa kali kelelahan itu juga mendapatiku. Akan tetapi bentuknya bisa lebih parah karena sering ditunggangi perasaan-perasaan lain seputar self-judgement. Sampai di saat berinteraksi dengan dia, segala pikiran negatif terkait diri sendiri meluap menenggelamkan akal sehatku.
Pikiran-pikiran seperti "siapa aku?, sehingga berani-beraninya mempunyai rasa kepadanya, dia bahkan tidak mengenalku", "dia dan aku sangat berbeda, perasaan itu hampir tidak mungkin nyata", "yang satu kepercayaan saja belum tentu berhasil, apalagi berbeda", "aku tidak mungkin masuk ke dalam lingkarannya", dan "dia tidak akan mungkin ingin terlibat di kehidupanmu sejauh itu". Sampai suatu ketika aku tersadarkan, bak baru saja disinari hidayah, bahwa self-critics semacam itu begitu mengganggu pikiranku.
Kemudian, self-critics lah yang selanjutnya berusaha aku kendalikan. Tidak semua self-critics buruk, ada beberapa yang muncul karena alam bawah sadar kita ingin agar kita menjadi seseorang yang lebih baik. Namun, apabila suara-suara tersebut terasa sangat intens dan mulai mengganggu, ada baiknya kita waspada.
Sesuai dengan post sebelumnya, aku akan coba mem-break down hubungan romantis ku di sini. Hubungan yang aku maksud sebenarnya berwujud satu arah. Aku anggap dia tidak mengetahui hal ini, kecuali teman dekatnya yang memang pernah aku beritahu. Mungkin sebenarnya hubungan ini lebih tepat disebut sebagai secret admiring.
Perasaan ini pertama kali kusadari di akhir semester 5 lalu. Dalam hidupku, memang sudah beberapa kali aku mempunyai perasaan kepada orang yang sama sekali belum ku kenal, hanya sebatas aku memperhatikan gerak-geriknya. Aku menganggap ini adalah hasil dari pikiranku meromantisisasi seseorang.
Ketika teman baiknya bertanya tentang alasanku jatuh padanya, aku hanya bisa menjawab "For me, she's kinda cute, I want to know more about her, and something unique about her attracts me". Memang sudah beberapa kali aku tertarik pada seseorang hanya karena alasan sederhana semacam itu. Tapi bukan berarti aku mudah tertarik pada seseorang, pada akhirnya aku percaya perasaan itu diizinkan oleh Tuhan.
Setelah cukup berkonsultasi, aku mengetahui bahwa dia merupakan orang yang cukup reserved terhadap orang asing. Mengenalnya dan berusaha agar dia mengenalku adalah langkah awal yang aku lakukan. Selanjutnya aku berencana untuk tidak terlalu cepat mendekatinya, dan berusaha untuk bersikap sealami mungkin. Hasilnya adalah aku telah beberapa kali berbincang dengannya -- tentu saja dalam situasi alami -- dan aku cukup puas dengan hal tersebut.
Sampai sekarang, aku belum bisa memutuskan untuk mengakhiri saja atau lanjut mendekatinya. Pikiranku terbentur pada kenyataan bahwa kami berbeda. Padahal kita sama-sama manusia.
Orang-orang tidak nyaman dengan perbedaan. Aku tahu betul.
Komentar
Posting Komentar