Pagi ini sesudah meneguk segelas air, aku tarik kursi ke hadapan piano digital yang baru dua hari lalu sampai ke kosanku. Piano ini dikirim dari rumahku di Jambi. Dua bulan lebih berada di kosan menguras mentalku hingga merasa bosan dengan segala sesuatu. Karena itu pula timbul keinginan untuk bermain piano, selain untuk menghilangkan kebosanan hitung-hitung aku bisa berlatih piano secara serius sekarang.
Setelah piano dihidupkan, aku melakukan pemanasan jari dengan bermain satu oktaf tangga nada dengan dua tangan, variasi The Virtuoso Pianist, dan pemanasan yang berfokus pada tangan kiri. Pemanasan-pemanasan tersebut baru saja aku pelajari. Aku mempelajari piano secara otodidak, hanya melalui youtube. Meskipun sebenarnya aku cukup terbantu oleh kemampuan bermain gitar ketika SMA dulu.
Seusai pemanasan, aku memainkan lagu Soldier's Poem dari band Muse. Lagu ini bercerita mengenai apa yang tentara pikirkan saat sekarat di medan perang. Mereka mempertanyakan "How could you send us so far away from home", padahal para petinggi mereka tahu bahwa hal tersebut sungguh salah. Kutipan bait terakhir yaitu "There's no justice in the world. And there never was", bagiku begitu menyesakkan. Rasanya aku ingin agar seluruh dunia mendengar lagu yang cukup singkat ini agar menghentikan pertikaian dan perang yang pada dasarnya tidak berarti.
Selanjutnya aku beranjak membereskan kamar, lalu mandi. Tiga hari yang lalu aku mulai membaca novel terjemahan berjudul "Dan Damai di Bumi" karya Karl May. Novel ini mendapat review yang beragam di goodreads.com. Aku tertarik dengan premis ceritanya yang menyatakan bahwa novel ini ditulis Karl May berdasarkan pengembaraannya ke dunia Timur. Tanpa pikir panjang, juga didorong perasaan bosan, aku memesan buku ini bersama beberapa buku lain di Tokopedia. Buku lain yang kubeli diantaranya "Berani Tidak Disukai" oleh Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga, "Tsukuru Tazaki Tanpa Warna dan Tahun Ziarahnya" oleh Haruki Murakami, serta Komik "Atelier of Witch Hat" Vol. 5 oleh Kamome Shirahama. Aku berencana membuat resensi buku-buku tersebut setelah selesai membaca.
Buku Karl May rencananya akan aku tamatkan terlebih dahulu sebelum menyentuh buku lain. Pagi ini aku membaca sekitar 30 halaman perjalanan Karl May di Colombo, bagaimana ia berurusan dengan para 'gentleman' dari Eropa yang bertindak semena-mena di hotel, interaksinya dengan seorang Cina yang sebelumnya ia selamatkan dari orang-orang Eropa tersebut, dan perjalanannya menggunakan Kapal Uap menuju Penang. Novel ini dikritik sebab terlalu mengagungkan budaya dan kebiasaan dunia Timur dibanding dunia Barat. Setelah membaca sendiri, aku merasakan Karl May memang sedikit mengunggulkan orang-orang timur. Namun tidak sampai ke titik ekstrim, meskipun penulis sering menyebutkan kelebihan timur dan kekurangan barat, ia menganggap semua bangsa setara. Mau itu orang kulit 'kuning', 'merah', atau 'putih', semua punya kearifan dan kebijaksanaan masing-masing terlepas kepercayaan yang dianut.
Sehabis membaca, tiba-tiba aku mendapatkan inspirasi menulis. Timbul pula keinginanku untuk nongkrong. Aku pun memutuskan untuk pergi ke Coffee Toffee Siliwangi setelah zuhur. Aku ke Coffee Toffee dengan berjalan kaki, cuaca saat itu cukup terik dan panas. Meski begitu, tidak kusia-siakan kesempatan untuk menikmati suasana dunia luar, di luar kosan. Tidak terasa sampai pula kakiku ke depan pintu Coffee Toffee. Setelah memesan Iced Green Tea Latte, aku mulai mengetik tulisan ini.
Malam tadi aku menamatkan drama korea berjudul I'm Not a Robot. Series yang kutonton di Netflix ini merupakan drama produksi tahun 2017-2018. Pertama kali melihat poster dan sinopsis drama ini aku langsung putuskan untuk menonton. Melebihi ekspektasiku, drama ini begitu menyenangkan untuk ditonton. Bercerita tentang seorang wanita, Cho Ji-A, yang terlibat cinta segitiga setelah berpura-pura menjadi robot (bernama AG3) yang mirip dengan dia dan bekerja untuk seorang presiden perusahaan finansial besar, Kim Min-kyu. Kepura-puraan ini diminta oleh Hong Baek-kyun, seorang Doktor di bidang robotika yang juga mantan kekasih Cho Ji-A, bersama dengan tim robotikanya Santa Maria.
Min-kyu menderita penyakit alergi terhadap manusia dan telah hidup sendirian di rumahnya yang super mewah selama 15 tahun. Seiring berjalannya waktu, Min-kyu sadar bahwa kedekatannya bersama Ji-A membuatnya merasakan koneksi dengan manusia. Ji-A pun juga semakin mengenal Min-kyu secara pribadi dan jatuh cinta padanya.
Dengan tetap menganggap Ji-A sebagai robot, Min-kyu merasa perasaannya terasa begitu mengerikan karena ia yakin perlakuan yang dilakukan robot pastilah palsu. Namun pada akhirnya Min-kyu mengakui perasaanya bahwa ia mencintai Ji-A. Sementara itu, ketika Ji-A ingin mengakui bahwa dirinya bukan robot, Ji-A menemukan bahwa pengakuannya dapat membunuh Min-kyu disebabkan karena penyakit alergi yang dideritanya.
Aku tidak ingin membeberkan seluruh plot drama ini. Jika tidak salah ingat, ini adalah drama korea pertama yang aku tonton secara serius. Jadi jika ditanya berapa skor yang akan kuberi, akan kuberi 10/10. Selain tadi juga sudah aku sebutkan bahwa cerita ini menyenangkan untuk ditonton, perasaan yang hadir juga begitu beragam, sedih, cemas, haru serta bahagia lengkap tersedia. Drama ini mengajarkan pentingnya mempunyai koneksi dengan orang-orang, bagaimana bersikap tulus/jujur adalah kunci dari hubungan, bahwa keajaiban itu benar adanya, serta pelajaran hidup lain yang tidak dapat kutulis semua. Mungkin pernyataan sahabatku kemarin bahwa "Banyak pelajaran hidup yang bisa aku dapatkan dari film" tidaklah berlebihan. Aku bersyukur menonton drama ini.
Padahal aku mulai menghindari cerita bergenre "slice of life". Ya, perasaan kosong dan longing itu muncul kembali. Rasanya aku ingin berkelana seperti Karl May, bertemu orang banyak dan membangun hubungan. Akan tetapi sangkar yang selama ini aku punya belum juga bisa sepenuhnya kubuka. Saat ini aku berada di kursi yang sama, ketika menulis "Romantisasi Segelas Green Tea Blended Cream". Tidak, perasaanku tidak sama dengan pada saat itu. Aku tidak sesering dulu memikirkan dia, mungkin hatiku juga perlahan-lahan mengikhlaskan perasaan itu. Aku masih percaya bahwa perasaan itu tidaklah salah, tidak mungkin Tuhan memberikannya tanpa tujuan. Ia ingin aku menyimpan perasaan semacam ini, agar aku belajar lebih banyak baik tentang diriku atau hubunganku dengan orang lain, sebelum benar-benar dipertemukan dengan lebih banyak orang.
Komentar
Posting Komentar