21.45 BST My head is hurting. The right half due to covid. My throat is itchy, ready to cough. I have only started to read "Lelaki-lelaki tanpa perempuan" by Haruki Murakami. As mba Visya's flat mates, Claire(?), Murakami's books are oddly dreamy. I found it recently that his books are very weird. I mean the plot. What would you think if your partner cheat on you several times? Would you confront them or end the relationship? The answer for that question is do nothing, if you consult with one of the characters in the novel. They are absurd. But life isn't absurd. Life is just meaningless. Absurdity gives life a meaning. To being absurd and odd. During my self-isolation, I watched many movies. Some of them are rewatch. I am starting to watch hobbit movies, hence maybe LOTR chronicles later. I rewatched the Imitation Game. ... Sorry I take a break to the washroom. I am just a mere man. Now I can't write anything. Yea, I like to watch near/post-apocalypse movie
Selama ini aku kira selalu mengikut garis lurus, tetapi tidak juga. Mungkin ada benarnya, yang kulakukan selalu berjalan di garis lurus, jika ada sesuatu di kiri-kanan jalan hanya lengan kurentangkan. Apabila tergapai syukurlah, apabila terlewat biarlah. Namun akhir-akhir ini lain, aku tak ingin berjalan maju. Tidak ingin lagi aku menginjakkan kakiku di jalan penuh paku dan duri itu. Ingin ku jalan ke kanan atau ke kiri atau ke belakang juga tak apa-apa. Yang penting bukan ke depan, menuju kesengsaraan itu. Mungkin terdengar lebay mengatakan ini penderitaan. Toh selama masih menghembuskan nafas, semua orang pasti menderita. Berminggu-minggu aku meyakinkan diri bahwa hidup tak bermakna, rupanya bukan itu inti persoalannya. Hidup memang sedari awal tidak bermakna, karena itu kita terpaksa berhayal dan berkreasi tentang makna hidup itu sendiri. Berjalan ke depan mengikuti garis lurus memang pernah membuatku seakan-akan memiliki makna, namun sekarang tidak lagi. Boleh orang menganggap aku